Perkawinanku yang telah berusia tujuh tahun tergolong mulus dan memberi banyak kebahagiaan. Tetapi tidak sejak enam bulan lalu, tepatnya setelah istriku Neni terkena kanker payudara dan terpaksa salah satu miliknya itu harus diangkat. Neni menjadi sangat murung dan kehilangan gairah hidup. Bahkan ia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Kuakui, dengan hilangnya salah satu payudara di tubuh Neni, ada sebagian pesonanya yang hilang. Bila ia telanjang, kurasakan ada sesuatu yang hilang. Sepasang buah dadanya yang sangat montok dan selalu menjadi pelampiasan gairahku kini tinggal satu. Bagian yang lain menjadi rata dan bahkan ada semacam luka parut yang sangat mengganggu. Namun karena aku tak mau menyakitinya, kuanggap itu bukan masalah. Bahkan kerap kuyakinkan bahwa aku tak pernah berpikir untuk meninggalkannya.
Tetapi tidak bagi Neni. Kehilangan payudara menjadikannya hilang rasa percaya diri. Setiap hari hanya berbaring di tempat tidur. Tidak mau mengerjakan apa pun termasuk mengurus Lani, putriku yang berusia 3 tahun anak kami satu-satunya. Untung ada ibu mertuaku yang memutuskan tinggal bersama kami setelah Neni menjalani operasi. Dan karena ibu mertuaku itulah segala pekerjaan rumah menjadi beres termasuk memasak dan mengurus Lani.
Malangnya, Neni sama sekali menolak diajak berhubungan intim sejak mulai sakit dan sampai payudaranya diangkat. Ia malah selalu menyuruhku untuk mencari wanita pengganti karena menurutnya ia sudah tidak pantas lagi melayaniku. Maka sebagai laki-laki berusia 33 tahun (istriku berumur 28 tahun), yang masih sangat potens dalam soal seks, aku sering merasa puyeng. Mau mencari kepuasan ke WTS aku merasa jijik. Di samping dipakai banyak orang, pasti membawa penyakit berbahaya.
Pernah melintas pikiran buruk untuk merayu ibu mertuaku. Usia ibu mertuaku sudah 53 tahun dan telah menjanda sejak kematian suaminya tiga tahun lalu. Pikiran ngeres itu muncul setelah aku sempat memergokinya mengenakan pakaian yang sangat minim. Suatu hari ia sedang mandi. Tiba-tiba dari arah dapur tercium bau gosong nasi yang sedang ditanak. Aku yang sedang memberi makan burung di dekat dapur jadi berteriak.
"Bau gosong apa nih Bu, nasi yah?" ujarku saat itu karena tidak tahu ibu mertuaku ada di kamar mandi.
"Dibandingkan milik ayah, besar mana Bu dengan punyaku?" Kataku mencoba menetralisir ketegangan.
Dengan reflek ibu mertua mencubit pahaku. Tapi ia tidak marah.
"Hushh.. Jangan ngomongin orang yang sudah meninggal. Tapi punya kamu memang jauh lebih besar. Sampai takut ibu melihatnya," ujar ibu mertuaku.
"Takut... apa seneng?" timpalku.
Ia mencubit lagi, tapi pelan saja dan tidak menimbulkan sakit. Selanjutnya, tangan ibu mertuaku mulai beraksi. Pertama kepala penisku dibelai-belainya dengan lembut, lalu usapannya turun ke kantung pelirku. Cara menyentuhnya benar-benar profesional dan menimbulkan sensasi luar biasa. Terlebih saat ia mulai menggenggam batang penis itu dan mengocoknya perlahan.
Disamping mengocok, terkadang tangan ibu mertuaku seperti meremas gemas batang penisku. Akupun mendesah, menggelinjang menahan nikmat.
"Ahh.. Sshh.. Enak sekali Bu..,. Oohh," rintihku tertahan.
Tanpa sadar aku telah mendekap ibu mertuaku. Wajahku yang membenam di lehernya membaui aroma wangi cologne yang biasa dipakai istriku hingga gairahku kian terpacu. Dan ah, ternyata ibu mertuaku tidak mengenakan BH. Aku tahu karena lenganku yang mendekap tubuhnya menyentuh bukit lembut di balik daster yang dikenakannya. Maka segera saja susu ibu mertuaku itu kugerayangi.
Meski aku menggerayang dari luar dasternya, tapi kuyakin buah dada ibu mertuaku lebih besar dibanding milik Neni istriku. Hanya agak lembek dan kendur. Bentuknya juga sudah merosot dan menggelantung karena putingnya berada agak di bawah. Sambil menahan nikmat oleh kocokkan dan elusan mengasyikkan tangannya pada kontolku, kubelai dan sesekali kuremas payudara ibu mertuaku. Bergantian kiri dan kanan.
Tak puas hanya menggerayangi dari luar bajunya, tanganku mulai mencari-cari kancing dasternya dan langsung kubukai. Namun ketika tanganku hendak menelusup merogoh masuk melalui bagian atas dasternya yang telah terbuka, ia seolah mencegah.
"Ibu sudah tua Hen, punya ibu sudah jelek dan kendur," katanya seperti mengingatkan tapi tidak mencoba mencegah tanganku yang telah menelusup masuk.
Dulu susu ibu mertuaku pasti sangat montok dan mancung bentuknya. Pasti almarhum ayah mertuaku senang membelai, meremas atau meneteknya. Kini di usianya yang telah 53 tahun, memang sudah agak kendur. Namun tetap tidak mengurangi gairahku untuk meremasinya. Apalagi putingnya juga besar menonjol, hingga aku jadi gemas untuk memilinnya dengan telunjuk dan ibu jariku. Nafas ibu mertuaku mulai memberat setiap aku memilin-milin putingnya. Dengus nafasnya menerpa wajahku yang berada sangat dekat dengan wajah ibu mertuaku.
"Hen, lama banget punya kamu keluarnya. Ibu sudah pegel nih mengocoknya," perlahan ibu mertuaku berujar.
Sebenarnya itu siasatku saja karena sejak tadi pertahananku sudah hampir jebol tetapi selalu kutahan.
"Kalau begitu ibu berhenti dulu deh, gantian aku yang kerja," kataku sambil turun dari ranjang lalu mengambil posisi berjongkok di depan kaki ibu mertaku yang menjuntai.
"Kamu mau apa Hen?!"
Ia sangat kaget ketika aku menyingkapkan dasternya dan mencoba merenggangkan posisi kakinya.
"Aku ingin lihat punya ibu," balasku.
Tadinya ibu mertuaku mencoba bertahan agar posisi kakinya tetap terhimpit. Namun karena aku memaksa, himpitannya mulai mengendor.
"Ibu nggak pakai celana dalam Hen. Jangan, ibu malu," katanya lagi tetapi membiarkan tanganku merenggangkan kedua kakinya.
Dari balik dasternya yang tersingkap sangat lebar, ternyata benar. Di samping tidak mengenakan BH, ibu mertuaku juga tidak memakai celana dalam. Di antara pahanya yang membulat putih montok, kemaluannya terlihat membusung lebar. Tetapi tanpa rambut, nampaknya ibu mertuaku rajin mencukur. Bibir kemaluannya agak tebal dan berwarna agak kecoklatan. Kontras dengan celahnya di bagian agak ke dalam yang berwarna merah muda. Pasti ayah mertuaku dulu sering mengentotnya dan dari lubang inilah Neni dilahirkan.
Jakunku turun naik dan berkali-kali aku meneguk air liur melihat pemandangan menggairahkan itu. Tak tahan cuma hanya melihatnya, aku mulai menyentuh dan menggerayangi kemaluannya. Kuusap-usap dan kubelai memeknya yang membukit dan menggairahkanku itu.
Sudah enam bulan lebih aku tak menyentuh bagian paling merangsang milik wanita ini atau sejak istriku selalu menolak kuajak berhubungan suami istri. Ternyata, memek gundul tanpa rambut juga lebih merangsang. Aku membelai memeknya sambil mulutku menciumi paha montok ibu mertuaku. Ibu mertuaku menggelinjang, mendesah menahan gairah. Dan sejauh itu, ia membiarkanku meluahkan gairahku yang telah cukup lama disapih dalam segala hal oleh Neni, istriku.
Namun ketika ciumanku mendekat ke selangkangannya, ibu mertuaku sedikit berontak. Tangannya menahan kepalaku agar mulutku tak menempel di bibir kemaluannya.
"Iihh... Mau diapain Hen? Jangan ah, kotor," katanya.
Apakah ia tidak pernah mendapatkan oral seks? Mungkin saja, karena ayah dan ibu mertuaku tergolong produk lampau. Berpikir begitu aku jadi nekad untuk memperkenalkan jilatan lidahku yang sering membuat istriku kelojotan bak cacing kepanasan. Kutekan keras kepalaku untuk mengalahkan penolakan ibu mertuaku sampai mulutku menyentuh memeknya.
Memek ibu mertuaku tidak berbau, nampaknya ia rajin merawatnya. Saat lidahku mulai menyapu bibir kemaluannya, penolakannya mulai mengendur. Bahkan kuyakin ia mulai menikmatinya ketika lidahku menelusup ke celah memeknya dan menjilati kelentitnya. Ia mengerang dan merintih tertahan.
"Gimana Bu, enak kan?" ujarku sambil terus menjilat dan menyapu lubang nikmat ibu mertuaku.
Bahkan sesekali kucerucupi dan kusedot-sedot kelentitnya. Ia terus mendesis dan mengerang menahan nikmat.
"Aahh..,. Sshh..,.. Enak sekali Hen, oohh. Ibu baru merasakan yang seperti ini Hen.., oohh..,.. Sshh..,.. Aakkhh," erangnya tertahan.
Lubang memek ibu basah, banjir oleh campuran ludahku dan cairan yang keluar dari vaginanya yang terasa asin. Rintihan dan erangan ibu mertuaku membuat gairahku kian terpacu. Aku juga takut ia mendahului mencapai klimaks dengan oral seks dan menjadikannya menolak untuk disetubuhi. Maka di tengah erangan dan rintihannya yang tak putus-putus, aku langsung berdiri.
Kakinya yang menjuntai ke bawah ranjang makin kurenggangkan dan kontolku yang tegak mengacung kuarahkan ke liang sanggamanya. Kepala penisku yang membonggol besar kugeser-geserkan di bibir kemaluannya yang merekah lalu perlahan kudorong masuk. Bblleess, sekali tekan amblas terbenam batang penisku. Karena di samping banyak cairan pelicin yang bercampur ludah, nampaknya lubang memek ibu mertuaku sudah cukup longgar.
Ibu mertuaku yang tadinya tiduran bangkit seperti terkaget dan seolah hendak memprotes tindakanku.
"Hen..,. Ja.. Jangan! Aa.. Aku ibu mertuamu Hen, ja.. Ja..,.. Aahh.. Oohh..,.. Sshh..,.. Akkhh," tetapi protesnya berubah menjadi erangan dan ungkapan kenikmatan setelah aku memaju mundurkan penisku di lubang vaginanya.
Susu ibu mertuaku yang besar ikut terguncang-guncang setiap kali penisku keluar masuk di lubang nikmatnya. Tubuhnya tergetar dan matanya membeliak-beliak dengan mulut yang terus mendesis. Tampaknya ia sangat menyukai sodokan-sodokan kontolku yang menghujami memeknya.
Sebenarnya aku ingin sekali meremasi susu ibu mertuaku yang terguncang-guncang menggemaskan itu atau mengulum putingnya yang mencuat coklat kehitaman. Ingin pula kulumat bibirnya yang membasah. Namun karena ingin memberi kesan yang baik padanya, aku berusaha sekuat tenaga untuk dapat memuaskannya. Hunjaman kontolku di lubang nikmatnya kadang kupercepat dan kadang kumainkan dalam tempo lambat.
Sambil terus menyodok-nyodok memeknya, sesekali kelentitnya yang mencuat kumainkan dengan jari telunjukku yang telah kubasahi dengan ludah. Variasi yang kulakukan membuat ibu mertuaku semakin kelabakan. Pinggulnya diangkat seperti hendak menyongsong sodokan kontolku. Rintihan dan erangannya semakin keras. Untung pintu kamar sudah kukancing dari dalam dan istriku pulas tertidur.
Akhirnya, tubuh ibu mertuaku mengejang.
"Ohh.. Ahh.. Shh.. Aakkhh enak sekali Hen, ibu nggak tahan mau keluar ahh.. Ahh," nampaknya ia hendak mendapatkan orgasmenya.
Maka dengan cepat kupacu sodokan dan hunjaman kontolku di memek ibu mertuaku. Hingga ia seperti melolong dan merintih menahan nikmat. Aku baru berhenti setelah kulihat matanya membeliak dan hanya terlihat bagian putihnya dan tangan ibu mertuaku mencengkeram keras kain sprei tempatnya berbaring. Kubiarkan ibu mertuaku terkapar menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru didapatnya dengan nafas yang masih memburu.
Aku keluar menuju kamar mandi. Aku ingin membersihku rudalku yang masih tegak mengacung selagi ibu mertuaku masih terkapar. Batang kontolku terasa lengket belepotan oleh lendir dari memek ibu mertuaku. Juga sambil menengok Neni di kamarnya, takut ia terbangun. Saat aku kembali, ibu mertuaku sudah berdiri dan bermaksud keluar kamar hingga aku mencegahnya. "Bu saya masih ingin. Saya belum keluar nih," kataku berbisik sambil meremas pelan susunya.
"Iya.., ibu hanya ke kamar mandi sebentar kok," ujarnya sambil mencubit tanganku yang nakal.
Tidak begitu lama ia kembali masuk kamar. Tidak seperti di babak pertama dimana ibu mertuaku agak canggung, di babak kedua dia lebih santai. Ia sama sekali tidak menolak ketika tubuhnya langsung kupeluk dan kulepaskan handuk yang melilit tubuhnya.
Bahkan masih sambil berdiri, ketika tanganku menggerayangi pantatnya yang besar dan meremas-remasnya, ia membalas dengan meremasi dan mengocok kontolku yang mengacung. Pantat ibu mertuaku agak basah dan ada wangi sabun mandi yang merebak. Pasti ia telah menyabuni bagian bawah tubuhnya saat di kamar mandi.
Lepas dari pantatnya, aku mulai menggerayangi buah dadanya. Susunya yang bentuknya mirip pepaya menggelantung itu, kendati ukurannya cukup besar tetapi terasa lembek dalam remasan tanganku. Ia mulai mendesah saat mulutku mulai meneteknya. Putingnya yang berwarna coklat kehitaman terasa mengeras dalam hiasapan mulutku. Ah, sudah lama aku tidak menetek susu Neni istriku. Maka meski payudara ibu mertuaku sudah lembek, aku tetap dengan rakus meneteknya.
Saat tubuhnya kudorong ke ranjang, ia langsung tiduran telentang. Pahanya dibuka lebar mengangkang hingga kemaluannya yang besar membukit tempak merekah menanti batang zakarku. Tampaknya ibu mertuaku hanya mengenal posisi konvensional dalam bersetubuh.
"Memang bisa Hen? Ada-ada saja kamu," ia memang tampak kaget dengan posisi doggy style yang kuminta.
Tetapi tanpa menolak, wanita berusia 53 tahun itu langsung memenuhinya. Dalam posisi menungging, pantat ibu mertuaku tampak lebih merangsang. Besar dan menggunung. Lubang anusnya coklat kehitaman, sementara kemaluannya yang gundul nampak menyembul di bagian bawah di antara kedua pahanya.
Tanpa menunggu terlalu lama, aku yang memang sudah cukup lama menahan gairah langsung mengarahkan kepala penisku ke lubang nikmatnya dari belakang. Mula-mula hanya kugesek-gesekkan di bibir kemaluannya lalu sedikit demi sedikit kutekan, hingga kepala penisku yang membonggol besar mulai masuk. Setelah mendapatkan jalan, langsung kudorong hingga amblas terbenam sampai seluruh batangnya melesak ke dalam. Ibu mertuaku agak tersentak dan tubuhnya sedikit mengejang.
Mengentoti ibu mertuaku dengan menusuk dari belakang ternyata lebih menggairahkan. Sambil mengokocok-kocok lubang memeknya dengan batang penisku, aku bisa meremasi pantatnya yang besar. Sesekali kuulurkan tanganku untuk menggerayang dan meremas susunya yang menggelantung dan terayun-ayun. Wanita itu kembali mendesah dan terkadang merintih. Nampaknya ia mulai merasakan nikmatnya sodokan batang penisku. Aku jadi tambah bersemangat, sodokanku semakin kupercepat.
"Ahh.., ah.. Ah, Hen enak sekali punyamu Hen. Kontolmu enak banget, ah... ah..... Sshh.. aakkhh," mulut ibu mertuaku terus meracau.
Mendegar lenguhan dan desahannya yang bak orang kepedasan, aku kian bersemangat. Aku ingin ia benar-benar puas oleh layananku. Syukur kalau sampai ketagihan. Hingga tak perlu pusing walau Neni mangkir melayani kebutuhan biologisku. Kocokkan kontolku di memek ibu terus kupercepat sampai menimbulkan bunyi yang khas.
Cloop.. Cloop.. Cloop. Dan bunyi khas itu benar-benar ikut menyemangatiku untuk terus menancap dan menarik rudalku di dalam lubang nikmatnya. Sampai akhirnya, pertahannan ibu mertuaku kembali jebol. Kembali ia meraih orgasmenya hingga tubuhnya kembali mengejang dan akhirnya tubuh mertuaku ambruk tengkurap di kasur.
"Ibu capai Hen, istirahat sebentar yah. Kamu kuat banget dan punyamu juga besar banget, Neni beruntung bersuamikan kamu," di sela nafas beratnya.
Keringat terlihat mengucur di dahi dan tubuhnya. Ia pasti kelelahan. Selama ibu tengkurap melepas lelah, aku juga memanfaatkannya untuk memulihkan tenaga dengan tiduran di sampingnya. Aku tidak tega kalau harus memaksakannya terus melayaniku meskipun sebenarnya tadi hampir kuraih ejakulasiku.
Namun melihat ketelanjangan tubuh mertuaku, tanganku seperti tak mau diam. Bongkahan pantatnya yang besar membusung mengundangku untuk meremas-remas dengang gemas. Bahkan sesekali jari tengahku sengaja menelusup di antara buah pantatnya dan kumasukkan ke dalam lubang memeknya. Akibatnya ia menggelinjang dan membalikkan tubuh menjadi telentang.
"Geli Hen, tangan kamu nakal!" Ujarnya sambil memencet hidungku.
Kembali bagian tubuhnya yang mengundang gairahku langsung menjadi sasaran tanganku. Perut mertuaku yang sudah tidak rata bahkan sedikit bergelombang kuusap. Lalu susunya yang sudah agak kendur kuremas dan kupilin pentilnya yang besar. Namun saat aku bangkit dan hendak menindihnya ia mencegah.
"Kamu telentang saja. Sekarang giliran ibu yang melayani kamu. Tapi ibu ke kamar mandi sebentar," ia bangkit dan langsung keluar ke kamar mandi.
Saat mertuaku kembali, ia membawa termos yang biasa untuk menyimpan air panas, baskom plastik dan handuk kecil. Tidak mungkin ia akan membuatkan kopi dengan peralatan seperti itu. Tetapi untuk apa?
Pertanyaan itu terjawab setelah ibu mertuaku kembali telanjang dan mulai menjalankan aksinya. Ternyata, handuk kecil itu setelah dicelup air hangat digunakan untuk menyeka tubuhku seperti mengompres tetapi dilakukan di sekujur tubuh. Dimulai dari telapak kaki terus naik ke atas dan menyeka hampir seluruh permukaan kulitku. Hanya wajah dan rambutku yang tidak dikompresnya.
"Enak kan Hen? Ini membuat peredaran darahmu menjadi lancar dan menambah semangat," katanya sambil terus menyeka bagian-bagian tubuhku.
Aku merasa sangat dimanjakan olehnya.
"Dulu Bapak (maksudku almarhum ayah mertuaku) juga suka dibeginikan kalau main sama ibu?"
"Ini idenya malah dari bapak," jawab ibu mertuaku.
Tubuhku terasa sangat segar dan gairahku kian meninggi setelah diseka seluruh permukaan kulitku dengan handuk hangat. Terakhir, secara khusus ibu mertuaku mengompres cukup lama kontolku yang masih tegak mengacung. Bahkan biji-biji pelirku pun ikut disekanya juga sampai ke lubang duburku.
Dan puncaknya, setelah handuk dan baskom diletakan di meja, giliran mulutnya yang digunakan untuk mengerjai kontolku. Dijilat-jilatnya kepala penisku yang membonggol besar, lalu dikulum dan dimasukannya ke mulutnya. Hanya setengah batang penisku yang berhasil masuk ke mulut ibu mertuaku. Mungkin terlalu panjang ukurannya. Tetapi terasa sangat nikmat saat ia mulai menghisap-hisapnya.
"Aakhh..... Enak sekali Bu. Sshh.. Oohh," rintihku tertahan.
Hisapan dan jilatan mulut Neni tak sampai senikmat ibu mertuaku. Tidak hanya batang penisku yang disosor dengan mulutnya. Namun biji pelirku pun ikut dikulum dan diseka dengan lidahnya. Bahkan, lidah ibu mertuaku bergerilya menyeka sampai ke lubang duburku. Nikmatnya tak terkira. Aku menggelinjang, tubuhku meliuk-liuk menahan nikmat.
"Aahh, sshh.. Aahh, enak sekali Bu. Ouuhhkhh.. Sa... sa.. Saya mau keluar Bu," rintihku akhirnya karena tak mampu menahan gairah lebih lama.
Ibu mertuaku langsung tanggap. Dihentikannya kuluman dan jilatan pada penisku. Diambilnya posisi berjongkok persis diatas pinggangku dengan kedua kaki berada diantara tubuhku yang telentang. Kulihat memeknya yang ukurannya cukup besar nampak membuka lubangnya lalu ia mulai menurunkan pantatnya.
Kurasakan bibir kemaluannya menyentuh kepala penisku yang tegak mengacung. Dan akhirnya, bblleess.. Batang kontolku masuk ke kehangatan lubang memeknya. Aku kembali mengerang menahan nikmat yang kudapatkan.
Terlebih saat ibu mertuaku mulai menaik turunkan pantatnya. Nikmat yang kurasakan terasa semakin menggila. Mungkin juga karena sudah cukup lama aku tidak bersetubuh sejak Neni istriku menolak melayani. Hanya yang pasti memek ibu terasa lebih mantap, kesat dan lebih menjepit.
Sesekali ibu mertuaku berhenti menaik turunkan pantatnya berganti gerakan dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya secara memutar. Sepertinya ia ingin mengeluarkan semua jurusnya untuk memuaskan dahagaku. Aku semakin kelimpungan dibuai kenikmatan yang diberikan.
Satu hal yang tidak kutemukan pada Neni, istriku, memek ibu mertuaku terasa lebih legit. Dinding bagian dalam kelaminnya mampu meremas dan mengempot batang kontolku, setiap kali ia menggoyang pantat dan menekannya. Puncaknya, ketika goyangan pantat mertuaku semakin cepat, gairahku semakin tak tertahan. Tubuhku mengejang dan batang kontolku berkejut-kejut di lubang nikmat ibu mertuaku menyemburkan mani dalam jumlah sangat banyak. Di saat bersamaan, nampaknya ibu mertuaku juga kembali mendapatkan orgasmenya yang ketiga sampai akhirnya kami sama-sama terkapar.
Sejak itu, aku dan ibu mertuaku selalu mengulang permainan panas yang memabukkan. Aku tak lagi harus menahan derita pusing kepala karena Neni tak mau memberi jatah layanan ranjangnya. Dan ibu mertuaku, nampaknya juga sangat menikmati. Layaknya suami istri, kadang bahkan ibu mertuaku yang meminta.
"Punya kamu marem banget sih Hen, jadi ibu suka ketagihan," ujarnya memberi alasan.
Tetapi ia tetap berusaha keras untuk selalu bersikap wajar di hadapan Neni hingga perbuatan kami lancar-lancar saja dari waktu ke waktu.
Seperti malam itu, aku harus lembur sampai malam dengan komputerku. Karena besok sejumlah laporan harus sudah tersaji di meja pimpinan. Namun baru saja aku mau mulai menyelesaikan berkas terakhir yang harus kukerjakan, pintu kamar tamu tempatku bekerja kudengar dibuka. Ibu mertuaku masuk, membawa segelas besar kopi panas dan pisang keju kegemaranku.
"Masih banyak lemburannya Hen, itu kopinya diminum dulu biar seger," ujar ibu mertuaku sambil memijat pundakku dari belakang.
Sikapnya yang lembut dan penuh perhatian layaknya istri yang berbakti kepada suami membuatku senang bermanja padanya. Sambil menyandarkan tubuh kunikmati pijatan tangannya yang lembut.
"Eehh kok malah kesenengan, nanti ketiduran. Itu kopinya diminum dan lanjutin kerjanya, nanti nggak selesai. Ibu mau lihat Lani di kamar," ujarnya lagi ketika melihatku terkantuk-kantuk karena pijatannya.
Namun sebelum ia keluar kamar aku sempat meraih tangannya. Kutarik dan kupaksa duduk di pangkuanku. Kupagut bibirnya dan tanganku langsung meliar ke bagian tubuhnya yang paling kusuka. Dibalik dasternya, mertuaku ternyata tidak memakai BH maupun celana dalam. Kuremas pelan buah dadanya dan kupilin-pilin putingnya. Sementara telapak tanganku yang lain telah berhasil menelusup ke selangkangannya dan menemukan kemaluannya yang tidak terbungkus CD.
"Ibu sudah kepingin ya. Kok nggak pakai BH dan CD?" ujarku berbisik di telinganya.
Jari tengah tanganku telah berhasil masuk ke lubang vaginanya. Terasa hangat dan basah. Ia menggelinjang dan kurasakan jemari tangannya telah mencengkeram penisku yang mulai bangkit. Aku memang hanya bersarung dan juga tidak pakai CD.
"Tapi kamu kan lagi kerja Hen," ia menjawab lirih sambil mendesah.
Besar juga nafsu ibu mertuaku ini, pikirku dalam hati.
"Sudah hampir rampung kok Bu. Biar pagi-pagi sebelum berangkat saya selesaikan," kataku.
Nafsu ibu mertuaku memang benar-benar besar. Tak kusangka wanita seusia dirinya masih memiliki gairah yang cukup tinggi. Terbukti, setelah melepas daster yang dikenakan ia langsung memerosotkan kain sarung yang kukenakan. Rudalku yang telah tegak mengacung dijadikan sasaran. Wanita yang kini bertelanjang bulat itu, sambil berjongkok mulai mengelus dan mengocok pelan penisku.
"Punya kamu besar banget dan kekar Hen. Ibu benar-benar ketagihan," katanya sambil mengagumi kejantananku yang notabene adalah menantunya.
Tak puas hanya meremas dan mengocok, ia mulai melumat batang penisku dengan mulutnya. Disapu-sapunya sesaat kepala penisku dengan lidahnya, lalu dikulumnya dengan nikmat tongkat komandoku itu. Luar biasa nikmat kuluman ibu mertuaku terlebih ketika ia mulai menghisap-hisapnya. Aku menggelinjang menahan gairah dan kenikmatan yang diberikan.
"Aakkhh.. Enak banget Bu. Oohh.. Ya.. Ya terus ahh terus.. Terus hisaapp aahh," rintihku sambil memegangi dan meremas rambut kepala ibu mertuaku.
Aksi mulut ibu mertuaku di selangkanganku semakin menjadi. Setelah melepaskan kulumannya pada batang penisku, ia mengalihkan sasarannya di kantong kemenyan kontolku. Biji-biji pelirku dicerucupinya dengan lahap. Bahkan, tanpa sungkan, lubang anusku ikut dijilatinya sekalian. Aku jadi kelabakan menahan nikmat tak terkira. Terlebih ketika ujung lidahnya seperti hendak menyodok menerobos masuk ke lubang duburku. Pertanahanku nyaris jebol kalau saja tak segera kuhentikan aksinya itu.
Kami berganti posisi, kuminta ia duduk mengangkang di kursi yang tadi kududuki. Kemaluan ibu mertuaku nampak besar dan cembung. Kelimis tanpa rambut, nampaknya baru habis dicukur. Bibir kemaluannya yang tebal coklat kehitaman nampak berkerut-kerut. Mungkin begitulah kalau memek sudah sering dipakai. Namun tidak menghalangi gairahku untuk segera melahapnya. Mulutku langsung menciumi dan mencerucupinya. Dan kugunakan lidahku untuk menyapu dan menjilatnya.
Ia menggelinjang, menahan nikmat akibat sentuhan mulut dan lidahku di liang sanggamanya. Lubang memek ibu mertuaku tambah basah akibat bercampur dengan ludah yang keluar dari mulutku. Sesekali kelentitnya kujepit dengan dua bibirku dan kutarik-tarik. Lalu kuhisap dan kusedot.
"Aauuww.. Hen, kamu apakan ibu? Ahh.. Enak banget Hen. Ibu nggak pernah merasakan yang seperti ini sayang. Ya.. Ya.. Terus.. Terus hisap dan jilat sayang. Ibu bisa gila Hen.... Ya.. Ya.. Aahh.. Sshh aahh..... Nikkhhmmaatt," rintih ibu mertuaku.
Reaksinya makin menjadi ketika lubang duburnya yang kujadikan sasaran jilatan lidahku. Ia menggelepar seperti cacing kepanasan dan mulutnya menceracau tak karuan.
"Oohh..,.. Ibu enak banget Hen, teruss.. Eenaakk.. Sshh. Terus jilat sayang..,.. Ya.. Ya.., terus jliat. Enakk sayang..,. Aahh.. Enak banget," ia merintih sambil menjambaki rambutku.
Aku takut suara ibu sampai membangunkan Neni di kamarnya. Maka untuk mengurangi suara berisiknya, kusodorkan jari telunjuk tangan kananku ke mulutnya agar ia menghisapnya.
Sesaat upayaku berhasil, setelah mulutnya tersumpal jari telunjukku. Mulutnya tidak lagi menceracau dan mendesis-desis seperti ular cari mangsa yang bisa membangunkan Neni. Bahkan ia mulai menghisap-hisap jariku yang membuatku semakin menikmati acara pemanasan itu. Tetapi ketika ujung lidahku mulai mencucuk lubang duburnya, reaksinya kembali menggila. Ia mengerang tertahan dengan suara yang cukup keras.
"Aakkhh..,.. Enaak bangeett Hen! Aakkhh, sshh ibu nggaak kuat..,.. Nggaakk kuat dan mau keluar Hen," rintihnya makin menjadi.
Aku tahu, itu pertanda ia tak dapat lagi membendung gairahnya. Tak ingin menyiksanya terlalu lama, segera kuhentikan jilatan lidahku di lubang anusnya. Lagian aku juga sudah ingin menikmati kelegitan vaginanya. Maka penisku yang telah tegak mengacung langsung kuarahkan ke kemaluan mertuaku. Kepala penisku yang membonggol besar kugesek-gesekkan di bibir kemaluannya dan lalu kutekan. Bblleess.., sekali dorong langsung amblas tertelan di lubang nikmat itu.
Posisiku yang berdiri sementara ibu mertuaku duduk mengangkang di kursi sangat memungkinkanku untuk melakukan berbagai manuver. Maka dengan semangat 45 segera saja kugenjot tubuh mertuaku. Batang penisku langsung menyodok-nyodok, keluar masuk di dalam liang sanggamanya.
Sebagian bibir dalam vagina ibu mertuaku seperti ikut tertarik keluar bersama penisku dan kembali masuk ke dalam saat aku mendorongnya. Mungkin karena ukuran kontolku yang kelewat besar atau karena bibir bagian dalam vagina ibu mertuaku yang telah menggelambir. Namun terus terang vagina ibu mertuaku lebih enak dibanding milik Neni, anaknya yang juga istriku.
"Kontolmu gede banget Hen..,. Aahh.. Sshh.. Oouukkhh.. Punya ibu seperti mau jebol. Tapi bener-benar enak sayaang..,.. Aakkhh terus sayang.. Enak banget," mulutnya kembali menceracau.
"Saya juga suka sama memek ibu. Sshh.., aakkhh.. Tebal, keset dan legit. Saya suka banget ngentot sama ibu," ujarku tak mau kalah.
"Jadi meskipun Neni nggak mau melayani kamu nggak akan cari wanita lain kan?" Katanya lagi.
"Pasti Bu, kan sudah ada ibu! Kalau ibu mau terus melayani, saya akan terus sayang sama Neni dan ibu,"
"Tentu sayang, tentu. Ibu suka banget dientotin sama kamu Hen. Aahh..,. Aahh.. Sshh.. Ookkhh.. Enak bangat. Aahh.. Aahh.. Sshh.. Sshh.. Ibu mau keluar sayang.. Ya.. Ya terus sayang," mata ibu mertuaku kulihat mebeliak-beliak dan mulutnya makin mendesis.
Aku jadi kian semangat melihat ia telah hampir menggapai puncak kenikmatannya. Sodokan penisku di lubang memeknya semakin kupercepat sambil tanganku meremas gemas buah dadanya yang terguncang-guncang.
Akhirnya, seiring dengan puncak kenikmatan yang kudapat, kurasakan tubuh ibu mertuaku mengejang. Lalu memeknya terasa mengempot dan menyedot penisku.
"Ibu keluar.. Hen.. Aahh.. Aahh ibu keluar sshh.. Aahh enak banget sayang.. Enaakk.. Banget," rintihan ibu mertuaku meninggi karena telah didapat orgasmenya.
Akupun tak mau kalah, penisku berkedut-kedut di lubang nikmat ibu mertuaku. Pertahananku ambrol setelah maniku menyembur di memek ibu.
"Saya juga keluaarrhh Bu.., aahh.. Sshh..,.. Ssh ayo jepit Bu terus jepit dengan memek ibu, aahh enakk banget.. Sshh.. Aahh.. Aakkhh."
Suasana hening sesaat. Karena kecapaian akhirnya kami pulas tertidur sambil berpelukan. Entah sampai kapan hubungan sumbang kami ini akan berakhir.
Ibu mertua yang mendengar teriakanku langsung lari keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang masih basah kuyup, karena belum selesai mandi, hanya dililit handuk yang berukuran tak cukup lebar. Hanya menutup dada dan sedikit di bawah pangkal pahanya. Dengan tergesa ia segera mengangkat panci, mematikan kompor dan memindahkan nasi ke magicjar agar nasi tidak berbau gosong semua.
Saat itulah, saat ibu mertuaku melakukan segala aktivitas itu, aku bisa melihat sebagian tubuh ibu mertuaku yang belum pernah kulihat. Kulit ibu ternyata lebih bersih dibandingkan kulit Neni, istriku. Buah dadanya kurasa juga lebih besar dibanding kepunyaan Neni. Hanya mungkin sudah agak kendur. Aku tidak bisa memastikan karena belum pernah menyentuhnya dan saat itu terbelit oleh handuk yang dililitkannya.
Namun, yang lebih membuatku panas dingin, adalah saat ia membungkukkan badan. Karena handuknya kelewat kekecilan, saat membungkuk handuknya menjadi tambah terangkat. Jadilah aku bisa melihat pahanya yang membulat sampai ke pangkalnya. Juga pantatnya yang besar dan pinggul yang mengundang pesona. Bahkan, ah, aku juga bisa melihat memek ibu mertuaku yang terlihat mengintip di antara kedua pangkal pahanya. Kemaluan ibu mertuaku terlihat gundul tanpa rambut. Tampaknya habis dicukur.
Melihat itu, gairahku langsung naik cukup tinggi. Jakunku menjadi turun naik dan denyut jantung menjadi tidak teratur. Maklum sudah cukup lama tidak mendapat layanan istri di tempat tidur. Saat itu aku nyaris nekad memeluk ibu mertuaku dari belakang dan melampiaskan hasrat yang menggelegak. Namun takut dianggap kurang ajar dan bisa mengundang masalah bila ibu mertuaku tidak berkenan, aku pendam keinginan itu. Juga karena penampilan ibu selama ini sangat pendiam dan rajin menasehati hingga aku tidak berani kurang ajar.
Dari waktu ke waktu, sikap istriku bukannya membaik tetapi semakin buruk. Ia hanya keluar kamar saat makan atau mandi dan selebihnya dihabiskan untuk tidur atau nonton TV yang juga tersedia di kamar. Ia juga menolak bila diajak berhubungan badan. Jadilah kami sering bertengkar seperti yang terjadi malam itu.
"Kalau kamu tetap dingin, biar nanti aku mencari pelacur untuk menggantikanmu," kataku dalam nada tinggi karena tak bisa menahan emosi.
Gairahku malam itu memang sudah naik ke ubun-ubun. Tetapi Neni hanya menjawab santai.
"Aku kan sudah minta Mas Hen mencari wanita lain yang bisa melayani. Aku nggak apa-apa kok," ujarnya enteng.
Emosiku meledak. Sambil keluar kamar pintu kututup kencang hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Ingin rasanya aku menstater motor keluar untuk mencari pelacur di pinggir jalan atau ke hotel yang menyediakan wanita panggilan. Tetapi kemana, aku tidak punya pengalaman? Dan lagi malam sudah sangat larut. Untuk meredam emosi, kuambil sebotol air dingin dan kubawa ke kandang ayam di belakang rumah. Tempat yang paling kusenangi untuk melamun dan mengurangi rasa gundah.
Benar emosiku mulai reda setelah beberapa tegukan air dingin membasahi kerongkonganku. Terlebih setelah sebatang rokok kunyalakan dan kuhisap. Berteman asap rokok, anganku mengembara memikirkan nasib perkawinanku yang porak-poranda gara-gara kanker yang diderita istriku. Namun saat aku hendak menyalakan batang rokok berikutnya, suara ibu mertua mengagetkanku.
"Bertengkar lagi ya Hen," lirih suara ibu mertuaku terdengar.
Wanita itu ternyata telah berdiri tak jauh dari tempat aku duduk di kegelapan kandang ayam.
"I.. Ibu belum tidur? Maafkan saya Bu," ujarku sedikit tergagap.
"Bukan kamu yang salah. Tetapi memang Neni yang keterlaluan. Padahal ibu sudah berkali-kali mengingatkan," katanya lagi seolah menyalahkan diri sendiri.
Ibu mertuaku mendekat dan duduk menjejeriku di kursi panjang. Mungkin ia tidak enak dengan sikap putrinya itu.
"Saya emosi karena Neni lebih senang kalau saya tidur dengan pelacur. Saya pusing sekali..,"
"I.. Iya Ibu tahu. Pasti kamu sangat pusing," ujarnya lirih mencoba memahami perasaanku.
Sasaat kami hanya diam membisu. Aku dengan pikiranku yang kesal dengan ulah istrik. Sedang ibu mertuaku? Entah menerawang kemana pikiranbnya. Sampai akhirnya, "Kalau mau ibu punya usul.., ta.. tapi," ibu mertuaku nampak ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Usul apa Bu? Katakan saja..,"
"Begini. Dulu, kalau ibu hamil muda, bawaannya enggan melayani bapaknya Neni. Bahkan dipaksa pun ibu menolak. Dan itu berlangsung sampai tiga bulan. Maka bapak jadi tidak kuat. Akhirnya sebagai jalan keluar, setiap ingin bapak minta itunya dikocok oleh tangan ibu sampai keluar," ujar ibu mertuaku.
"Saya sudah minta begitu Bu, tetapi Neni tetap tidak mau," kataku menukas.
Ibu mertuaku terdiam. Ia ingin menyampaikan sesuatu tetapi terlihat ragu. Wajahnya menunduk. Sampai akhirnya, "Hen, ibu kasihan sama kamu. Biarlah ibu yang bantu mengocok, biar pusingnya hilang," ujarnya lirih.
Sungguh aku sangat senang dengan tawaran ibu mertuaku. Daripada mengocok sendiri sambil membayangkan paha dan pantat besar ibu mertuaku. Kini dia yang malah menawarkan diri untuk mengocok kontolku. Pasti lebih asyik, pikirku.
"Te.. Terus kapan Bu? Saat ini kepala saya sangat pusing." Memang sejak tadi gairahku naik cukup tinggi.
"Sekarang juga boleh," katanya menawarkan.
Tadinya ibu mertuaku mau melakukannya di tempat kami duduk di dekat kandang ayam. Tapi kutolak dengan alasan kurang leluasa dan tempatnya kurang nyaman. Akhirnya kami sepakat melakukan di kamar tamu, karena di kamar yang ditempati ibu mertuaku ada Lani putriku. Ibu memintaku untuk lebih dulu mengecek apakah Neni sudah pulas apa belum. Katanya, nggak enak kalau sampai Neni tahu. Dan Neni ternyata sudah pulas mendengkur hingga aku langsung menyusul ibu mertuaku ke kamar tamu.
Di dalam kamar, ibu mertua menungguku duduk di tepian ranjang. Tapi ia nampak canggung, mungkin malu atau entah apa yang membersit di kepalanya. Namun aku tak peduli dan segera kulepaskan sarung dan baju kaos yang kukenakan. Dengan rudal yang telah tegak mengacung dan tubuh bugil telanjang bulat aku duduk merapat ke ibu mertuaku.
"Ayolah Bu, biar pusingku hilang. Katanya mau mengocok?" kataku sambil menarik tangan ibu mertuaku dan menempelkannya di penisku.
Melihat kontolku yang ukurannya lumayan besar dan telah tegak mengacung, wanita itu agak tertegun melihatnya. Wajahnya kian tertunduk tapi kuyakin ia mengagumi alat kejantananku itu. Mengagumi kepala penisku yang membonggol dan batangnya yang cukup besar dihiasi urat-urat menonjol.