Kebetulan sekolah sedang libur di bulan Oktober ini, aku (namaku Tris) bersama istri dan kedua anakku (yang besar baru kelas I SD) berlibur ke Malang sambil mengunjungi orang tua istriku. Rumah mertuaku bukannya di kota Malangnya tetapi agak jauh di Desa di luar kota Malang yang masih terasa sejuk. Seperti kebiasaan di desa, tetangga-tetangga mertuaku masih termasuk keluarganya juga dan di samping kiri rumah mertuaku adalah keluarga adik perempuannya yang sudah mempunyai anak 3 orang dan semuanya perempuan. Yang terbesar nama panggilannya Asih dan masih duduk di kelas 3 SMU di desanya, yang kedua bernama Ami masih kelas 1 di SMU-nya Asih dan yang terkecil Ari masih duduk di kelas 2 SMP, sedang bapaknya kerja di suatu PT di Surabaya yang hanya pulang ke desanya setiap bulan habis gajian.
Yang kudengar dari mertuaku, ke 3 keponakannya itu walau tinggal di desa tapi badung-badung dan susah di atur sampai-sampai ibunya kewalahan. Kupikir mungkin akibat bapaknya tidak pernah ada di rumah sehingga tidak ada yang disegani.
Untuk menyingkat cerita, baiklah kumulai saja kisah nyataku ini. Ketika tahu aku dan keluargaku datang di desa, ibunya Asih datang kepadaku dan meminta tolong untuk memberi les kepada ketiga anaknya terutama kepada Asih, karena ujian akhir sudah dekat. Oh iya, mertuaku dan keluarganya tahu kalau aku dulu kerja sebagai seorang Guru SLTA sebelum diterima kerja di salah satu BUMN di Jakarta. "Naak.. Triis, mumpung lagi libur di sini, tolong yaa si Asih dan adik-adiknya diberi les", kata ibunya Asih sewaktu semua keluarga sedang ngobrol-ngobrol. Asih dan adik-adiknya langsung protes ke ibunya,
"Buu, ibu ini gimana siih. Kita sedang libur kok malah disuruh belajar?"
"Asiih", teriak ibunya agak keras,
"Apa angka-angka di raportmu sudah bagus? Apalagi ujian sudah dekat, kalau hasil ujianmu jelek, bapakmu mana sanggup menyekolahkan kamu di Universitas swasta", lanjut ibunya dengan sedikit ngotot.
Supaya tidak terjadi keributan, lalu aku berusaha menengahinya dengan mengatakan "Asiih", ibumu benar ikut ujian UMPTN itu tidak gampang. Mas Triis mau kok membantu Asih dan adik-adik dan waktunya terserah saja, bisa pagi, siang atau malam."
Kebetulan hari Selasa sore, istriku dan ibunya pergi ke Kediri untuk mengunjungi saudaranya yang sedang sakit dan mungkin akan menginap semalam. Kira-kira jam 9 malam ketika aku sudah siap akan tidur, Asih yang memakai baju tidur tanpa lengan yang longgar dan belahan dadanya yang sangat rendah datang memintaku untuk mengajari matematika. "Lho kok malam-malam begini sich apa tidak ngantuk nanti?", kataku agak malas karena aku sendiri sudah mulai ngantuk. "Naah.. kata Mas Tris kemarin terserah Asih soal waktunya kebetulan lagi belum ngantuk nih Mas", jawabnya. Lalu Asih mengajakku ke rumahnya dan dia sudah menyiapkan buku-bukunya di meja makan. "Lho.. kok sepi", tanyaku pada Asih melihat rumahnya terasa sepi, "Kemana Ibu dan adik-adik mu Siih?" Sambil duduk di kursi satu-satunya di meja makan, Asih mengatakan kalau mereka sudah tidur sejak tadi.
Lalu Asih mulai membuka bukunya dan menanyakan persoalan-persoalan matematika yang tidak dimengertinya dan aku menerangkannya sambil berdiri disamping kirinya sambil sesekali kulirik belahan dadanya yang sangat jelas terlihat dari atas. Payudaranya tidak terlalu besar tapi terlihat menonjol tegang di balik baju tidurnya yang berleher rendah itu. Dari pengamatanku beberapa saat sewaktu Asih mengerjakan soal-soal matematika yang kuberikan, kelihatannya dia tidak bodoh-bodoh amat, mungkin karena bandel dan tidak pernah belajar saja sehingga hasil rapornya jelek. Suatu saat ketika aku menuliskan jawaban matematika yang ditanyakannya, secara tidak sengaja siku tangan kananku menyenggol payudaranya dan terasa empuk kenyal walaupun masih terbungkus BH-ya. "Asiih, ma'af yaa tidak sengaja", kataku basa-basi. eeh tidak menyangka kalau Asih malah berguman, "Aah sengaja juga tidak pa-pa kok.. Maas", katanya dengan tanpa menoleh. Nah kesempatan baik nih, sambil menyelam minum air, sambil mengajari siapa tahu dapat kesempatan menggoda Asih yang kudengar bandel dan suka pacaran di sekolahnya, pikirku.
Kembali Asih mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan aku melihat apa yang dikerjakannya dari belakang badan Asih dan sesekali kulongok belahan dadanya yang membuat dadaku berdesir dan kepingin memegangnya serta membuat celana pendek piyama yang kukenakan kelihatan menonjok akibat penisku sudah berdiri. Aku jadi melamun dan mencari jalan bagaimana cara memulainya supaya bisa memegang payudara Asih. "Maas, panggil Asih yang membuatku agak tersentak dari lamunanku, kalau yang ini, gimana ngerjakannya?" kata Asih yang agak menunduk mendekati kertas kerjaannya di meja makan. Lalu aku membungkukkan badanku dari belakang sehingga badanku menempel di sandaran kursi dan kepalaku ada di kanan bahu Asih sambil tangan kananku menjulur ke depan di atas kertas kerjaan Asih dan menerangkan bagaimana cara mengerjakan persoalan yang ditanyakan, dan Asih tidak berusaha menghindar dari posisiku dalam menerangkan dan juga tidak berkomentar ketika beberapa kali payudaranya tersenggol tanganku sewaktu bergerak menerangkan di kertas kerjaannya. "Sudah mengerti aas", tanyaku setelah selesai menerangkan dan "Suu..daah maas", jawab Asih pelan dan kuangkat kepalaku menjauhi kepala Asih sambil kukecup mesra leher Asih yang jenjang dan kulihat Asih agak menggelinjang mungkin kegelian dengan kecupanku itu sambil berkata lirih "Aahh maas gee..niit aahh nanti Asih kasih tahu Mbak Sri (nama panggilan Istriku) lho baru tahu", menakut-nakutiku. "Yaa jangan dong Aas, bisa perang dunia nanti", kataku dari belakang dan kulanjutkan kata-kata rayuan gombalku "Haabis, Asih maniis dan body Asih menggairahkan siih", sambil kembali kukecup lehernya.
Lagi-lagi Asih menggelinjang dan lalu melepaskan pinsil dari tangannya sambil berkata pelan seolah mendesah "aahh maas, jaa..ngaan nanti ada yang tahuu." Karena tidak ada tolakan yang berarti dan Asih tidak berusaha menghindar atau pergi, aku semakin tambah berani dan kupegang kepalanya serta agak kuputar sedikit ke kanan lalu segera bibirnya kucium dalam-dalam dan tidak menyangka kalau Asih malah membalas ciumanku dan tangannya dirangkulkan ke badanku. Karena dalam posisi begini kurang nikmat, sambil masih tetap berciuman, lalu kuangkat Asih berdiri dari duduknya dan kupeluk rapat-rapat badannya ke badanku. Setelah puas kami berciuman, lalu kualihkan ciuman serta jilatanku ke arah leher Asih dan kudengar Asih mulai berdesah "Aahh.. aah maass aahh.. maas ja..ngaan di sini.. nanti ketahuan", mendengar desahan yang cukup merangsang ini, aku semakin tidak dapat menahan nafsu berahiku lalu tangan kananku kugunakan untuk meremas-remas payudara Asih dari luar BH-nya dan Asih kembali mendesah "aah maas ja..ngaan disinii."
"Asiih, kita ke kamar Asih sajaa yaa", dan tanpa menunggu jawaban Asih, kuangkat dan kubopong tubuh Asih sambil kutanya, "Kamar Asiih yang mana.. As?"
"Di dekat ruang tamu Mas", sambil kedua tangannya dirangkulkan ke leherku. Rupanya kamar Asih terpisah jauh dari kamar-kamar lainnya dan sesampai di kamarnya lalu kurebahkan Asih di tempat tidurnya dan langsung kupeluk dan kembali kulumat bibirnya dan Asih pun meladeniku serta sepertinya sudah berpengalaman.
Setelah puas kulumat bibirnya, kualihkan ciumanku ke arah leher dan telinganya serta tangan kananku kugunakan kembali untuk meremas-remas payudaranya sedangkan Asih hanya mengeluarkan desahan-desahan. Sambil tetap mencium leher, telinga dan seluruh wajahnya, aku mulai mencoba melepaskan kancing-kancing baju tidur Asih dan setelah semua kancing terbuka, Asih mendesah, "Maas jangaan maas Jaa..ngan", katanya tanpa adanya penolakan atau menghentikan tanganku yang melepas kancing-kancing baju tidurnya. Ketika kubuka kaitan BH di punggungnya, Asih juga seperti tidak menolak tetapi masih terdengar desahan suaranya, "Maas ja..ngaan maas." Setelah kaitan BH-nya terlepas segera kubuka BH-nya dan terlihat payudara Asih yang tidak terlalu besar dengan puting susunya kecil kecoklatan, segera saja kualihkan cuimanku dari leher langsung ke payudaranya dan tangan kananku kugunakan untuk mengelus-elus vagina Asih dari luar CD-nya.
Seraya menggerak-gerakkan bagian dadanya dan kedua tangan Asih dirangkulkan kuat-kuat ke badanku, desahan Asih semakin sering terdengar", Maas maas aduuh maas teruus maas." Desahan-desahan Asih semakin membuat penisku semakin tegang saja, dan setelah beberapa saat kuciumi serta kujilati payudaranya yang ranum itu, lalu ketelusuri perut dan pusar Asih dengan ciuman serta jilatanku dan kugunakan kedua tanganku untuk melepas CD-nya sehingga vagina Asih yang menggelembung di antara kedua pahanya dan hanya ditumbuhi bulu-bulu hitam yang tipis terlihat jelas. Ketika jilatanku sudah mendekati bibir vaginanya, secara perlahan-lahan Asih membukakan kedua kakinya dan tercium aroma khas vagina. Aku sudah tidak sabar, lalu kujilat bibir vaginanya yang agak terbuka dan kurasakan tubuh Asih menggelinjang kuat sambil mendesah agak kuat. "Maas aduuh maas sudaah maas", sambil menekan kepalaku agak keras dengan kedua tangannya sehingga mulut dan hidungku terbenam dalam vaginanya dan basah oleh cairan yang keluar dari vaginanya. Lalu kuhisap-hisap bagian clitorisnya yang membuat Asih semakin sering menggelijang dan kuat desahannya, "Maas maas teruus.. Maas", dan ketika bibir vagina Asih kubuka dengan jari-jari tanganku, kulihat lubang vaginanya sudah mempunyai lubang yang agak besar dan sambil tetap menjilati vaginanya aku segera berkesimpulan kalau Asih sudah tidak gadis lagi dan mungkin sudah beberapa kali vaginanya dimasuki penis orang lain. Jilatan-jilatan serta sedotan-sedotanku sudah keseluruh vagina Asih dan pinggulnya semakin kuat pergerakannya serta kudengar desahan kuat Asih lagi "Maas, maas, Asiihh nggaak kuaat laggii maas, aahh", sambil tangannya menekan kuat-kuat kepalaku cukup lama dan pinggulnya kelojotan dengan cepat. Tapi tidak lama kemudian Asih terdiam dan yang kudengar hanya nafasnya yang terengah-engah dengan kuat. Setelah kudengar nafasnya mulai agak teratur, kurasakan kedua tangannya berusaha menarik pelan kepalaku ke atas, lalu aku merangkak di atas badan Asih dan kupegang kepalanya sambil kuciumi seluruh wajahnya dengan mulut dan hidungku yang masih basah oleh cairan vagina Asih. Sambil mencium lehernya, lalu kutanyakan apa yang ada dalam pikiranku tadi, "Asih sebelumnya sudah.. pernah.. seperti ini.. yaa?" Dan seperti kuduga Asih menjawab pelan. "Sudah Maas dengan pacar Asih, tapi tidak seperti sekarang ini, pacar Asih maunya cepat-cepat dan setelah diam sesaat Asih melanjutkan kata-katanya, "Maas, tapi jangan kasih tahu Ibu yaa?" Aku hanya mencium bibirnya dan kujawab singkat, "Nggaak akan doong aas", dan kembali kuciumi wajahnya.
"aas, boleeh sekarang Mas masukin?" kataku setelah diam sesaat, Asih tidak segera menjawab tetapi kurasakan kedua kakinya digeser membuka. Karena tidak ada jawaban, lalu kupegang batang penisku dan kuarahkan ke lubang vaginanyah serta pelan-pelan kutekan kelubangnya. Walaupun vaginanya masih basah dengan cairan, kurasakan masuknya penisku ke dalam vaginanya agak susah sehingga kuperhatikan wajah Asih seperti menahan rasa sakit dan terpaksa tekanan penisku kutahan. Melihat wajahnya sudah biasa dan kurasakan tangannya yang berada di pungungku menekan pelan-pelan, lalu kembali penisku kutekan pelan-pelan dan tiba-tiba penisku seperti terperosok ke dalam lubang, bleess.. serta kudengar Asih berteriak kecil, "aachh maas tahaan", sambil menahan pinggulku.
Setelah diam beberapa saat, kudengar kembali Asih berkata pelan, "Maas .. jangaan dalam dalaam yaa Maas, Asiih takut sakiit." Agar supaya Asih tidak kesakitan, lalu kuikuti pesan Asih dan aku mulai menarik penisku pelan-pelan dari dalam vaginanya dan menekan kembali pelan-pelan serta kubatasi tekanan masuknya penisku itu seperti pertama kali masuk kira-kira sepertiga panjang penisku.
Setelah beberapa kali keluar masuk, kurasakan penisku mulai lancar keluar masuk vagina Asih dan kuperhatikan wajah Asih sudah biasa dan tidak sedang menahan sakit, malahan sewaktu aku menahan pinggulku agar penisku jangan masuk terlalu dalam, ternyata sekarang Asih menaikkan pinggulnya dan tetap menekankan kedua tangannya di pinggulku. Karena sudah ada tanda ini, lalu kukocokkan penisku keluar masuk vagina Asih pelan-pelan lebih dalam, dan terus lebih dalam lagi dan terus sampai akhirnya penisku bisa masuk semuanya ke dalam vagina Asih dan setiap kali penisku masuk semua ke dalam vaginanya dan terasa sampai mentok di vagina Asih, kudengar Asih berdesah, "aahh maas", berulang-ulang.
Karena sudah kuanggap lancar dan tidak ada keluhan dari Asih, sambil kuciumi wajah dan bibirnya, lalu kupercepat kocokan keluar masuk penisku di vaginanya dan akibatnya sangat terasa gesekan-gesekan di vaginanya yang terasa sempit itu, membuatku tidak sadar berdesah, "Sshh sshh.. enaak Aass.. aaccrhh", sedangkan Asih yang mungkin sudah begitu terangsang, vaginanya mencuat akibat keluar masuknya penisku dan kadang-kadang sampai mentok di ujung vaginanya, gerakan pinggulnya semakin cepat dan tidak teratur serta kuku jari tangannya mencengkeram kuat di pinggangku sambil sering kudengar desahnya, "Maas teruus maas enaak aahh sshh enaak maas." Tidak terlalu lama kemudian gerakan pinggul Asih semakin liar, pelukan dan cengkeraman kukunya semakin sering dan nafasnya juga sudah semakin cepat dan tiba-tiba Asih berseru agak keras dan mudah-mudahan tidak sampai terdengar di kamar ibu atau adik-adiknya, "Maas.. maas Asiih suudah nggaak kuaat Maas, aduuhh Maas, Asiih sekaraang aduuh, keluaar aaccrhh", serta badannya seperti kejang-kejang, dan kubantu orgasmenya dengan memeluknya kuat-kuat serta kupercepat kocokan keluar masuk penisku di dalam vaginanya sambil kubisiki, "Asiihh teruuskan saa..yang teruuskaan sampaii Asih panas", tapi bersamaan berhentinya seruan Asih saat orgasme, kulihat sekelebat wajah perempuan entah Ami atau Ari menutup korden kamar Asih lalu berjingkat pergi dan Asih kelihatannya tidak tahu dan aku pun tidak akan kasih tahu. Tidak lama kemudian Asih terdiam dengan nafasnya yang tersengal-sengal dan menciumi seluruh wajahku serta membisikiku "Maas, maas hebaat, Asiih baru bisaa puaas sekarang dan Asiihh capeek bangeet maas."
Karena mendengar Asih mengatakan capai, aku jadi tidak tega lalu kubilang "Assiih, kalau asih capek istirahat saja duluu Mas cabut dulu yaa.. punya Mas?"
"aahh biaarkan sajaa.. duluu maas, maskan belum keluaar", jawab Asih tenang sambil mencium wajahku. Kulihat nafas Asih sudah normal kembali dan kedua tangannya diusap-usapkan di punggungku sambil masih tetap menciumi wajahku dan kurasa ini sebagai tanda bahwa Asih sudah siap lagi, lalu pelan-pelan aku mulai menggerakkan pinggulku lagi sehingga penisku mulai keluar masuk vaginanya yang semakin basah sambil kusedot-sedot salah satu puting susunya dan terdengar jelas bunyi, crroott crroot, pada saat penisku masuk ke dalam dan Asih masih diam saja mungkin sedang menikmati enaknya dinding vaginanya digesek-gesek penisku. Makin lama kocokan penisku semakin kupercepat dan sekarang terasa Asih sudah menggerakkan pinggulnya sehingga penisku terasa semakin nikmat sehingga tanpa sadar aku mendesis, "Aasiih enaak Aas aduuh enaak Aas", dan hampir bersamaan Asih pun mulai mendesah, "Maas.. Asiih jugaa Maas teruus maas aduuh.. enaak maas." Gerakan penisku keluar masuk semakin kupercepat dan terasa spermaku sudah di ambang pintu mau keluar dan kucoba menahannya sambil kutanyakan,
"Asiih maas sudaah nggaak kuaat keluarkannya dimanaa Aas?"
"Maas, biariin di dalam maas, Asiih pingin disemprot maas ayoo sama samaa Maas ayoo sekaraang Maas!" dan aku berseru agak keras
"aaccrhh aahh Maas keluaar aaccrhh", sambil kupererat pelukan dan penisku kutekan dalam-dalam ke vaginanya dan hampir bersamaan Asih pun berteriak cukup keras,
"Maas aacrhh maas Asiih keluaar." sambil menggerakkan pinggulnya secara liar. Setelah itu kami sama-sama terdiam tapi dengan nafas yang tersengal-sengal dan segera kucabut penisku dari dalam vagina Asih dan langsung kupakai celanaku tanpa me-lap lagi dan kubilang, "Asiih Mas pulang kesebelah dulu yaa, takut dicariin."
Sesampainya di rumah mertuaku yang cuma sebelah rumahnya Asih, aku tidak melihat tanda-tanda ada yang masih ada yang bangun. Lalu kukunci semua pintu-pintu dan aku langsung tertidur di dekat ke 2 anakku. Siang harinya waktu aku sedang ngobrol dengan beberapa keluarga istriku di rumah mertuaku, tiba-tiba telepon berbunyi dan salah seorang memanggilku. "Maas ada telepon dari Mbak Sri", (nama Istriku)."Maas", kata istriku dalam telepon, "Kayaknya aku belum bisa pulang hari ini mungkin baru besok, habis ibu banyak yang perlu diurus. Jaga anak-anak ya Maas", kata istriku mengakhiri teleponnya. Kira-kira jam 3 sore, sedang nikmat-enaknya baca koran di ruang tamu rumah mertuaku sambil minum kopi. Si Ami (anaknya adik ibu mertuaku yang masih duduk di kelas 1 SMU dan adiknya Asih) datang menghampiriku lalu duduk di kursi sebelahku dengan wajah yang agak serius. "Ooom, Ami mau ngomong sedikit dengan om", (menceng juga si Ami ini, aku masih terhitung Masnya kok malah di panggil om). Aku jadi agak deg-degan melihat wajah Ami yang serius itu dan aku jadi yakin kalau yang mengintip tadi malam itu pasti dia, tapi dengan mencoba menenangkan diri aku bertanya pelan.
"Ami, ada apa kok kelihatannya serius benar sih?"
"Ami mau cerita ke Ibu dan Mbak Sri, soal om tadi malam dengan Mbak Asih", sahut Ami dengan ketusnya.
"Lho, lho tenaang sedikit dong Aam, Om kok tidak mengerti maksud Ami", jawabku dengan sedikit gemetar.
"aah om ini pura-pura tidak mengerti, padahal Ami melihatnya cukup lama apa yang om lakukan dengan Mbak Asih di kamarnya."
Aku jadi benar-benar kaget mendengar kata-kata Ami, yang rupanya cukup lama melihat apa yang kukerjakan dengan Asih, tapi aku masih berusaha tetap tenang dan berpikir, "Masak sih kalah dengan anak kemarin sore?"
"Ami..", kataku lirih tapi tetap kubuat agar setenang mungkin,
"Jadi Ami lama melihatnya? Kok Ami sampai tahu sih", tanyaku lagi. Dengan tetap menunjukkan wajahnya yang serius segera Ami menceritakan bahwa tadi malam, sewaktu selesai pipis di kamar mandi dan mau kembali ke kamarnya, samar-samar seperti mendengar orang sedang merintih. Karena berpikiran pasti ada yang lagi sakit, lalu Ami mencari dari mana datangnya suara rintihan itu dan ternyata datangnya dari kamar mbaknya. Tetapi karena rintihannya terdengar bukan seperti rintihan orang sakit, Ami membatalkan niatnya untuk masuk kamar mbaknya, tetapi hanya mengintip lewat korden yang menutupi pintu kamarnya Asih yang setengah terbuka dan diperhatikannya agak lama. Ami segera meninggalkan kamar mbaknya dan lalu pergi tidur karena Ami menyangka kalau aku melihatnya sewaktu wajahku menatap ke arah pintu kamar Asih.
"Oooh, Ami melihatnya cukup lama yaa? jadi tahu doong semuanya", kataku seperti bertanya tapi tidak mendapat jawaban dari Ami yang tetap membisu.
"Amii", kataku tetap lirih sambil kupegang tangannya,
"Toloong doong Am, jangan cerita ke orang lain apalagi ke Ibu dan Mbak Sri, om janji tidak ngulangi lagi deeh dan om mau deh bantu Ami apa saja, asaal Ami tidak cerita-cerita", kataku lanjut. Ami tidak segera menjawab kata-kataku dan juga tidak berusaha melepas tangannya yang kupegang, tapi tiba-tiba Ami menarik tangannya dari peganganku dan balik memegang tanganku sambil mengguncangnya serta berkata,
"Jadii om mau bantu Ami?" Mendengar kata-kata Ami terakhir ini, dadaku terasa agak plong.
"Amii, seperti kata om tadi, om akan bantu Ami apa saja asaal Ami janji tidak cerita-cerita", jawabku dengan sedikit penuh kekhawatiran.
"Jadii apa yang bisa Om bantu buat Ami?" tanyaku melanjutkan.
"Amii janji deeh om, cuma Ami saja yang tahu", kata Ami lalu diam sebentar.
"Oom begini.." kata Ami lalu dia menceritakan kalau pacarnya mau ulang tahun besok dan Ami mau mentraktir makan dan memberikan hadiah ultah pacarnya, karena dulu dia juga diberi hadiah sewaktu ultah, tetapi waktu kemarin minta ke ibunya bukannya diberi tetapi malah dimarahi. Setelah Ami menyelesaikan ceritanya lalu kutanya,
"Amii.., Ami butuh uang berapa..?" Ami tidak segera menjawab, tapi kemudian katanya, "Yaa terserah om saja seratus ribuu juga boleh Om", katanya sambil meremas tanganku yang dari tadi dipegangnya. Tidak kusangka aku bisa diperas oleh anak kecil, tapi yaa.. apa boleh buat daripada rahasia terbongkar, kataku dalam hati sambil terus kucabut dompetku dari kantong belakang dan mengeluarkan uang sebesar 250 ribu dan kusodorkan ke tangan Ami sambil kukatakan, "Nih Am, om kasih dua ratus lima puluh ribu buat Ami tapi sekali lagi janji lho yaa?" Ami menyambut uang yang kusodorkan sambil memelototkan matanya seperti tidak percaya serta berseru "Betuul niih Om?" dan aku menjawabnya dengan senyuman saja dan tiba-tiba Ami berdiri, memelukku sehingga kedua payudaranya yang kurasa lebih kecil dari payudaranya Asih kakaknya menempel di dadaku serta terus mencium pipiku sambil berseru "Maa kasiih yaa om, Ami janjii deeh", dan langsung mau lari kabur karena kesenangan. Tetapi langkahnya tertahan ketika tangannya kupegang dan segera kukatakan, "Amii tunggu dulu doong kita ngobrol dulu mumpung tidak ada orang." "Ngobrol apaan sih om", tanya Ami sambil duduk kembali di kursinya.
"Ami, om mau tanya yaa, tadi malam Ami melihatnya sampai lama sekali kenapa sih? pasti Ami pernah melakukannya juga yaa dengan pacar Ami?"
"aahh om siih mancing-mancing", jawab Ami sambil tertawa cekikikan.
"Benarkan Am? Buat apa sih om mancing-mancing, lihat dari jalannya Ami saja, Om sudah yakin kok kalau Ami sudah pernah", kataku sedikit serius agar Ami mempercayai omongan bohongku, padahal dari mana tahunya, kataku dalam hati. Ami sepertinya sudah termakan dengan omonganku, lalu sambil menggeser kursinya mendekati kursi yang kududuki Ami segera bertanya,
"Bee..tul yaa om? Jadi kira-kira ibu apa juga tahu om?"
"Aduuh mati.. saya Om, kalau ibu sampai tahu?" kata Ami sedikit sedih dan ketakutan. Karena aku sudah bisa menguasai Ami, lalu kuteruskan saja gombalanku.
"Amii, coba deh ceritain ke om dan om juga yakin kalau ibu tidak akan tahu, karena sesama wanita biasanya tidak bisa melihat gelagat-gelagatnya", kataku dan kelihatannya Ami percaya betul dengan gombalanku.
Setelah diam sebentar dan mungkin Ami sedang berpikir dari mana mau memulai ceritanya, lalu setelah menarik nafas panjang kudengar Ami mulai bercerita, "Begini om.." untuk menyingkat cerita, jadi pada prinsipnya Ami sudah dua kali melakukan dengan pacarnya yang duduk di kelas 2. Pertama, dilakukan di rumah pacarnya, tapi baru saja menyenggol barang Ami, eh.. sudah muncrat dan yang kedua katanya kira-kira dua minggu yang lalu dan kembali dilakukan di rumah pacarnya, barang Ami terasa sakit sewaktu pacarnya mulai menusukkan barangnya, tapi ketika Ami baru memegang barang pacarnya, eh.. tiba-tiba barang pacarnya mengeluarkan cairan putih dan langsung letoi, kata Ami sambil terus ketawa cekikikan.
"Oom.., apa sih enaknya gituan?" tanyanya.
"Ami kok tidak pernah merasakan apa-apa, tapi yang tadi malam sepertinya Mbak Asih kok terus-terusan merintih keenakan dan om juga begitu", katanya lagi.
"Memangnya nikmat yaa om?" Gila juga anak-anak sekarang ini, pikirku, sudah berani berbuat sejauh itu padahal Ami baru kelas 1 SLA.
"Yaa nikmat doong Mii", kataku sambil kuusap-usap salah satu pipinya yang terasa sangat mulus dengan punggung tanganku dan kelihatannya Ami diam saja dan menikmati usapan itu.
"Pacar Ami saja yang payah yang tidak bisa membuat Ami nikmat memangnya Ami kepingin yaa", sambungku.
"Iiihh om genit aah", jawab Ami sambil menepuk pahaku agak keras lalu terdiam sesaat seperti sedang berpikir.
"Oom.." kata Ami sambil terus berdiri dari kursi,
"Ami mau pergi dulu yaa mau cari-cari hadiah."
"Oh iyaa.. om yang tadi terima kasih yaa", katanya lagi sambil terus beranjak meninggalkanku, tapi baru beranjak selangkah Ami segera berbalik melihatku sambil berkata,
"Oom, nanti malam tolong ajarin Ami pelajaran kimia yaa?" Karena takut Asih curiga lalu kujawab saja permintaan Ami,
"Tidak mau ah Am, besok siang saja nanti Mbak Asih curiga."
"Lho Om Tris tidak tahu yaa kalau Mbak Asih dan ibu tadi pagi pergi ke Surabaya mau lihat Bapak?"
"Apa tadi tidak pamit, Om?" kata Ami sambil terus pergi tanpa menunggu jawabanku.
Malam harinya setelah selesai mendengarkan Dunia Dalam Berita dan beranjak mau mengunci pintu-pintu rumah mertuaku lalu terus tidur, muncul si Ami dari rumahnya sambil agak berlari dan memegang pintu yang akan kututup serta langsung berkata,
"Lho om sudah mau tidur?"
"Iyaa Am, om sudah ngantuk", jawabku malas.
"Yaa om kok gituu, katanya mau ngajarin Ami, ayo dong om ajarin pelajaran kimia", rengek Ami sambil mengguncang tanganku. Melihat Ami hanya pakai celana pendek dan baju yang cekak sehingga perut dan pusarnya kelihatan, memdadak kantukku jadi hilang, lalu sambil keluar dari pintu dan menutupnya dari luar, lalu kujawab,
"Ayoo kalau mau Ami begitu." Ami duduk di tempat di satu satunya tempat duduk yang diduduki oleh Asih kemarin di meja makan sambil membuka buku pelajarannya dan karena tidak ada kursi lain, aku berdiri di belakang kursi yang diduduki Ami. Ketika aku menuliskan dan menerangkan rumus-rumus kimia, aku hanya menjulurkan kepalaku kesamping kanan kepala Ami dan sesekali kualihkan pandanganku ke dalam baju Ami dan terlihat payudara Ami yang kecil tanpa memakai BH. Melihat ini penisku mulai berdiri di dalam celana pendek yang kupakai, sedangkan Ami tetap serius mendengarkan keterangan-keterangan yang kuberikan dan tidak menghindar atau menjauhkan badannya kala aku beberapa sengaja menempelkan pipiku ke pipinya. Pada saat Ami sedang menulis jawaban soal-soal yang kuberikan, kudekatkan wajahku ke wajahnya dan sengaja kuhembuskan nafasku ke dekat kupingnya sehingga Ami sambil terus menulis berkomentar, "Oom, nafasnya kok panas?" Komentar Ami tidak kujawab, tapi segera kucium pipinya dua kali dan Ami segera menghentikan menulisnya dan berkata, "Oom, jangan nakal dong", sambil kembali mau menulis.
Karena nafsuku semakin meningkat dan Ami hanya mengatakan begitu, keberanianku semakin bertambah dan pelan-pelan tanganku menyelusup lewat baju pendeknya bagian bawah dan kudekap kedua payudara Ami yang kecil itu serta kuremas pelan, dan kulihat dia melepaskan pinsil yang dipegangnya dan menutup kedua matanya sambil berdesah lirih, "Ooom sshh jaangaan Ooom", dan memegang serta meremas pelan kedua tanganku dari luar bajunya. Sambil tetap kuremas-remas payudaranya, segera wajahku mencari bibir Ami dan kucium dan Ami seperti kesetanan melumat bibirku dengan ganasnya sehingga dalam benakku terlintas pikiran anak sekecil ini kok sudah pintar berciuman. Dengan masih tetap kudekap kedua payudaranya dan berciuman, kugunakan kekuatan badan dan sikuku untuk merubah posisi kursi yang diduduki Ami dan setelah kuanggap baik, sambil tetap kucium bibirnya kulepaskan dekapan tangaku pada payudaranya dan kuraih kedua pahanya serta kubopong badan Ami serta kukatakan, "Amii, kitaa ke kamar Mbak Asih yaa", Ami tidak menjawab tapi hanya memegangkan tangannya ke bahuku.
Kutidurkan Ami di tempat tidur kakaknya dan segera kuangkat bajunya dari bawah serta kujilat dan kuhisap-hisap payudara Ami yang masih terbilang kecil, maklum baru kelas 1 SLA tapi sudah berani belajar intim dengan pacarnya dan Ami meremas-remas rambutku sambil mendesah, "Ooom, Ooom sshh sshh Ooom." Kuteruskan jilatan dan isapanku di kedua payudaranya bergantian dan kugunakan tangan kananku berusaha mencari dan membuka celana pendek Ami dan setelah kutemukan ternyata celana pendeknya memakai ritsluiting. Kubuka ritsluitingnya pelan-pelan dan kususupkan tanganku kedalam CD-nya serta kuelus permukaan vaginanya yang kecil dan terasa masih licin dan mulus seperti punya bayi tanpa ada bulu-bulunya dan ketika kuelus permukaan vaginanya, terasa Ami menggerakkan pinggulnya pelan dan masih tetap dengan desahannya yang kudengar semakin agak keras, "Ooomm sshh sshh Ooom." Lalu sambil mengelus vagina Ami yang cembung, kuselipkan jari tengahku di belahan vaginanya dan terasa sudah basah sekali dan jari telunjukku itu kutekan agak masuk dan kuusap-usapkan sepanjang belahan vaginanya dan ketika sampai di clitorisnya yang terasa kecil, kuusap-usapkan di seluruh clitorisnya sehingga membuat Ami menggelinjang agak keras dan mendesah semakin kuat, "Ooom sshh oom jaangaan oom sshh", dan desahan ini membuat nafsuku semakin tinggi dan penisku semakin tegang dan agak sakit terjepit celana pendekku.
Perlahan-lahan aku menurunkan badanku kebawah dan jilatanku pun sudah disekitar perut dan pusarnya, dan kedua tanganku kugunakan melepas celana pendek dan celana dalam Ami bersamaan, sedang tangan Ami masih tetap meremas-remas rambut dan kepalaku. Sambil melepas kedua celananya, mulutku sekarang sudah sampai di vaginanya yang menggembung mulus tanpa bulu-bulu sama sekali dan tercium bau aroma vagina yang khas. Karena Ami masih tetap merapatkan kedua kakinya, lalu kugunakan kedua tanganku untuk membuka kedua kakinya. Pertama-tama agak susah karena Ami berusaha menahan supaya kakinya tetap rapat sambil terdengar rintihan desahannya, "Ooom jaangaan oom suudaah oom", tetapi ketika lidahku kujulurkan dan kujilati sepanjang belahan vagina Ami yang agak terbuka itu, pertahanan kaki Ami untuk tetap merapat itu sudah hilang dan kedua kakinya dapat kubuka lebar dengan mudah dan terlihat bagian dalam vagina Ami yang basah dan kemerahan itu dan malah terasa Ami menaik-naikkan pinggulnya tapi tetap mengeluarkan rintihannya, "Ooom, suudaah oom sshh oom."
Semakin Ami mendesah atau merintih, nafsuku semakin kuat dan kujilati seluruh bagian vagina Ami dan sesekali klitorisnya kuhisap-hisap membuat desahan Ami semakin kuat dan kedua tangannya semakin keras meremas-remas rambut dan menekan kepalaku sehingga seluruh wajahku terasa basah semuanya dengan cairan yang keluar dari vaginanya, dan beberapa saat kemudian kurasakan gerakan pinggulnya naik turun semakin cepat dan jambakan di rambutku semakin kuat serta desahannya semakin keras, "Ooohh ooh oom aduuh oom sshh aahh ooh", dan aku jadi agak kaget karena tiba-tiba kepalaku terjepit kedua kakinya yang dilingkarkan di badanku serta kepalaku ditekan kuat-kuat ke dalam vaginanya serta tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan sambil mengeluarkan erangan agak kuat, "Aah aah aduuh Ooom aahh Ooom enaak", lalu Ami terkapar diam, kedua kakinya yang tadi menjepit kepalaku jatuh di atas kasur disertai nafasnya terengah-engah dengan cepat, rupanya Ami telah mencapai orgasmenya. Kuhentikan jilatanku di vaginanya dan merangkak ke atas dan kupeluk Ami serta kuelus-elus rambutnya, serta merta dengan nafasnya yang masih tersengal-sengal, Ami menciumi pipiku serta berkata,
"Ooom aduh kok begitu yaa rasanya."
"Itu belum seberapa Am, nanti pasti Ami akan merasakan yang lebih nikmat lagi", kataku meyakinkannya sambil tetap kuusap-usap rambutnya dan kucium pipinya, Ami tidak menjawab tapi malah menutup kedua matanya dan kelihatan sedang mencoba mengatur nafasnya. Setelah kuperhatikan, nafas Ami mulai teratur, lalu sambil kucium pipinya kubisiki, "Amii sekarang oom boleh masukin punya oom ke punya Amii." Ami yang masih menutup matanya tidak segera menjawab. Setelah kutunggu sebentar dan tetap tidak ada jawaban lalu kuulangi bisikanku di dekat telinganya, "Boleh Aam?" dan Ami membuka matanya sebentar dan melihatku dengan wajah yang agak khawatir serta menjawab tapi dengan suara agak lirih yang hampir-hampir tidak terdengar,
"oom, Ami takuut oom."
"Takut apa Am, tanyaku pelan, oom nanti pelan-pelan kok, tidak apa-apa", sambil pelan-pelan kunaiki badan Ami dan kupegang kepalanya dengan kedua tanganku serta kuelus-elus rambutnya serta kucium kedua pipinya bergantian, sementara kurasakan kedua kaki Ami bergerak agak terbuka sedikit, entah karena menghindar tindihan kakiku atau memberikan persetujuan permintaanku serta kudengar suaranya kembali yang pelan di dekat kupingku, "Ooom, Amii takuut jaangaan Ooom." Sambil kembali kucium pipinya, kubisiki Ami, "Amm tidak apa-apa, Oom pelan-pelan kok", sambil segera kugunakan tangan kananku untuk memegang batang penisku serta mulai kuusap-usapkan kepala penisku di belahan vagina Ami, sedangkan Ami yang mungkin merasakan vaginanya tergesek oleh kepala penisku lalu dia membuka kakinya lagi agak lebar. Kepala penisku sekarang kumasukkan sedikit di belahan vaginanya dan kuusapkan ke atas dan ke bawah beberapa kali sepanjang belahan vagina Ami yang masih sangat basah. Lalu ketika kepala penisku berada di bagian bawah vaginanya dan kurasakan sudah tepat di lubang yang ku tuju, lalu kucoba menekannya ke dalam sedikit dan kusetop tekanan penisku ketika terasa mentok. Karena tidak ada reaksi dari Ami, segera kutekan lagi penisku lebih dalam dan kuperhatikan wajah Ami agak meringis sambil berkata agak berbisik "Aduuh oom saakiit jaangaan oom", mendengar suara ini segera kuhentikan tekanan penisku ke dalam vaginanya.
Setelah kudiamkan sebentar, kutekan lagi penisku dan kembali kudenga, r "oom saakiit", sambil kurasakan kuku Ami mencengkeram di punggungku. Aku jadi berpikir, kata Ami penis pacarnya sudah pernah masuk walau belum semuanya, kok sekarang sulit betul masuknya, padahal ukuran senjataku termasuk ukuran normal-normal saja. Setelah beberapa kali kucoba tekan dan setiap kali kuhentikan karena Ami berkata sakit. Pada tekanan penisku yang entah ke berapa kalinya dan tekanan penisku kulakukan agak kuat, tiba-tiba penisku terasa seperti menyobek sesuatu crreet, terperosok sedikit lalu terjepit dan bersamaan dengan itu kudengar Ami agak berteriak, "Aduuh oom, sakiit." Kemudian dari kedua matanya yang masih tertutup terlihat keluar air mata. Kuhentikan tekanan penisku dan aku juga tidak berusaha untuk menariknya keluar, jadi kubiarkan penisku terjepit di vaginanya dan bisa kupastikan kalau penisku saat ini sudah masuk sedikit dalam vagina Ami. Lalu kulepas pegangan tanganku pada batang penisku dan kembali kugunakan kedua tanganku untuk memeluk kepala Ami serta mengelus rambutnya serta kucium kedua matanya yang tergenang air mata.
Lalu kucium bibir Ami yang serta merta dengan matanya masih tetap merem mengimbangi ciumanku dengan menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku dan kesempatan ini kugunakan untuk menekan penisku masuk lebih dalam ke vagina Ami dan kulihat Ami merapatkan matanya lebih rapat lagi serta melepas ciumanku serta berteriak kecil, "Aah sakiit oom", dan kembali kuhentikan tekanan penisku walau posisinya sekarang mungkin sudah setengahnya masuk kedalam vagina Ami dan kembali kuciumi kedua pipinya dengan harapan Ami akan lebih tenang. Ketika kembali kucium bibirnya dan Ami kembali meladeni ciumanku dengan menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku, kembali kugunakan kesempatan ini untuk menekan penisku masuk semuanya ke dalam vaginanya dan kulihat sekarang hanya memejamkan matanya lebih rapat lagi seakan menahan rasa sakit tapi ciumanku tidak dilepaskannya dan untuk sementara kudiamkan penisku tanpa gerakan. Beberapa saat kemudian, sambil tetap masih berciuman kugerakkan penisku naik turun pelan-pelan dan kulihat sesekali Ami lebih merapatkan kedua matanya seperti menahan rasa sakit.
Tetapi lama kelamaan sambil tetap kumasuk keluarkan penisku dalam vaginanya, wajah Ami sudah tidak lagi kelihatan tegang lalu gerakan penisku sedikit kupercepat dan aku tidak menyangka kalau sekarang Ami juga mulai menggerakan pinggulnya pelan-pelan. Beberapa saat kemudian kuhentikan gerakan penisku keluar masuk sambil kubisiki, "Amii coba Ami sekarang hentikan gerakan pinggul Ami dan konsentrasikan otot-otot vagina yang bagian dalam sehingga vagina Ami bisa menjepit dan menghisap penis oom." Ami tidak menjawab tapi segera menghentikan gerakan pinggulnya dan diam sambil tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku. "Ooom, Amii tidak bisaa", kata Ami lirih, "Cobaa teruus aam tadi sudah terasa vagina Ami sudah menjepit-jepit, cuma masih lemah", jawabku sambil kucium bibirnya. Kulihat Ami tetap diam tapi wajahnya dengan matanya masih tertutup, terlihat seperti lebih berkonsentrasi dan sekarang kurasakan jepitan-jepitan vagina Ami terasa lebih kuat dan membuat penisku lebih nikmat karena terpijit-pijit vagina Ami dan kubisiki dengan desahanku dan sekalian memberitahukan kalau usahanya mempraktekkan pelajaran kilatku sudah cukup berhasil.
"Amii yaa begituu Aam teruus enaak aam oouuhh, yaa begituu enaak aam", dan sehingga secara tidak sadar aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya lagi dengan agak cepat dan Ami pun segera menggoyangkan pinggulnya serta jepitan-jepitan vaginanya pada penisku terasa semakin kuat dan kembali kudengar desahan Ami lirih, "Ooom, oom oouuhh sshh oouuhh enaak oom", berulang-ulang sambil kedua tangannya menekan-nekan punggungku dan kuimbangi desahan Ami dengan bisikan berulang-ulang, "Yaa Aam, teruus saayaang aaohh teruus aam, jepit yang keras aam aduuh enaak sayaang." Mungkin merasa usaha menjepit-jepit penisku berhasil dan mungkin menjadi terangsang dengan bisikan-bisikanku, Ami semakin mempercepat gerakan pinggulnya dan tangannya semakin kuat menekan punggungku dan kadang terasa agak sakit karena kuku-kuku tangannya seakan menusuk punggungku serta desahannya semakin kuat terdengar, "Oooh oouuh Ooom, oouuh aduuh Oom", dan kuimbangi ini semua dengan mempercepat kocokan penisku keluar-masuk vaginanya yang kayaknya sudah sangat becek dengan cairan-cairan sehingga sangat jelas terdengar bunyi ccroot ccrroott crroott.
Beberapa saat kemudian kurasakan gerakan pinggul Ami semakin cepat dan liar serta kepalanya digeleng-gelengkan ke kiri dan ke kanan dan wajahnya menegang seperti menahan sesuatu dan tiba-tiba Ami mengeluarkan teriakan agak keras dan panjang, sambil menekankan tangannya kuat-kuat dipunggungku, "Ooouuhh aahh Ooom, aaccrrhh oouuh aduuh oom aarrcchh", dan terus terkulai lemas dengan nafas terengah-engah, rupanya Ami sudah mencapai orgasmenya. Walaupun nafsuku sudah mendekati puncak tapi aku masih bisa menahan diri agar spermaku tidak keluar dan melihat Ami sudah terkapar lemas dan untuk memberi kesempatan Ami melepaskan lelahnya aku segera menghentikan gerakan penisku keluar-masuk vagina Ami, tapi masih tetap berada di dalam vaginanya sambil kupegang kepala dan kuciumi seluruh wajahnya. Setelah nafas Ami mulai agak teratur, sambil mencium pipiku Ami berkata lirih, "Ooom, Amii capeek oom, sudaah yaa oom?" sambil tangannya terasa berusaha sedikit mendorong punggungku. "Amii, oom kan belum selesai sayaang? Ami istirahat dulu saja sebentar sampai cepeknya hilang", sahutku lirih sambil kucabut penisku dari dalam vaginanya dan tiduran di sampingnya dengan tangan kiriku kuletakkan di bawah kepalanya sambil kuelus-elus rambutnya serta tangan kananku kuremaskan pelan di salah satu payudaranya yang kecil dan hanya terlihat menonjol sedikit karena Ami tidur telentang dan Ami dengan masih merapatkan matanya, hanya diam saja serta sedikit meremaskan tangan kirinya ke tanganku yang sedang mendekap payudaranya.
Setelah berdiam beberapa saat, lalu sambil kucium pipinya segera kubisiki di dekat telinganya, "Amii masih capeek yaang?" Ami tidak segera menjawab bisikanku melainkan hanya sedikit meremaskan tangannya yang ada di tangan kananku, entah apa yang dimaksud dengan remasan ini. Setelah kutunggu sebentar dan masih tidak ada jawaban dari Ami, lalu segera kucium pipinya dan kubisiki lagi, "Amii, kalau sudah tidak capek toloong doong isap punya oom dengan inii yaa sayaang", sambil kuletakkan jari tangan kananku di mulut Ami dan kembali kuremaskan di payudaranya serta kucium lagi pipinya sambil menunggu jawaban Ami. Ami membuka matanya sebentar seperti terperengah mendengar kata-kataku tapi kemudian matanya ditutup kembali seraya menjawab lirih. "Ooom, Ami tidak bisaa oom, Ami belum pernaah." Aku segera menjawab, "Dicoba sayaang, nanti juga bisa", kataku sambil terus bangun dan memiringkan badan Ami ke arah kanan serta aku duduk agak mengangkang sehingga penisku sekarang sangat dekat dengan wajah Ami. Lalu kupegang tangan kanannya dan kubimbing serta kupegangkan di batang penisku yang masih basah kuyup dengan cairan yang keluar dari vagina Ami, mula-mula jarinya seperti ditegangkan dan tidak mau memegang batang penisku, tapi setelah kuremaskan tanganku di jarinya, sekarang jarinya sudah memegang seluruh batang penisku walaupun terasa agak kaku sambil berkata lirih, "Jaangaan oom!"
Kemudian dengan tanganku masih menggenggam jarinya yang sudah menggenggam penisku, kubawa mendekati mulutnya dan sekarang kepala penisku sudah menempel pada mulutnya dan mungkin karena merasa mulutnya ditempeli penisku, Ami berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya lemah sambil dari mulutnya berbunyi, "hhmm, hhmm.. hhmm", tanpa kata-kata, mungkin karena takut membuka mulutnya. Usaha ini terus kulakukan sambil menggeser-geserkan kepala penisku di sepanjang mulutnya yang kecil mungil itu dan kadang-kadang sedikit kutekankan pada mulutnya yang semakin dirapatkan sambil tetap berbunyi, "Hhmm hhmm hhmm..", tapi sekarang sudah tidak sering lagi menggelengkan kepalanya. Pada usahaku berikutnya, ketika kepala penisku kembali kutekankan lebih kuat pada mulutnya yang masih tertutup rapat itu, dari mulut Ami masih terdengar bunyi, "hhmm hhmm", tapi tiba-tiba kudengar dia mengatakan "Jaangan", dengan mulutnya sedikit terbuka, kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera kusodokan kepala penisku pada mulutnya yang terbuka sedikit dan masuk seperempat batang penisku ke dalam mulutnya dan terdengar suara "hHPp", dari mulut Ami yang tidak sempat menyelesaikan kata-katanya tadi karena sekarang sudah tersumpal oleh penisku. "Ayoo aam toloong diisaap yaang", kataku sambil kulepaskan tangan kananku dan kugunakan untuk mengelus-elus rambut Ami dan dari mulut Ami hanya terdengar bunyi, "hhmm hhmm hhmm", tanpa mau menghisap apalagi menggerakkan mulutnya.
Terpikir dalam benakku, mungkin Ami tidak mau berbuat lebih jauh mungkin malu karena wajahku ada di dekatnya, apalagi ini baru pengalaman pertamanya mengulum penis orang. Lalu aku berusaha merebahkan badanku di sampingnya sehingga sekarang kepalaku sudah berada di depan vaginanya (posisi 69) dan aku menjadi agak kaget karena di bibir vaginanya terlihat ada bekas darah yang sudah mengering. Aku jadi berpikir, kata Ami sudah pernah dengan pacarnya walau tidak masuk semua. Dasar Ami belum pengalaman, mungkin waktu itu punya pacarnya belum sampai masuk. Jadi aku rupanya yang beruntung dapat perawannya dan dengan agak was-was kucari di alas tempat tidur Ami mungkin ada tercecer di situ dan untungnya tidak ada, sehingga was-wasku menjadi hilang.
Segera saja kujilat-jilatkan lidahku pada belahan bibir vaginanya dan benar saja dugaanku tadi, sekarang Ami sudah berani menggerakkan tangannya yang memegang batang penisku dan mulutnya maju mundur walaupun masih pelan-pelan sehingga membuat penisku terasa nikmat dan secara tidak sadar aku menyuarakan, "Aaam teruus, Aam nikmaatt, aduuh nikmat Yaang, teruus sampai dalaam Yaang sedoot aam..", sedangkan dari mulut Ami hanya kudengar suara "hhmm hhmm hhmm", saja. Karena posisi badan Ami yang miring dengan kedua kakinya bertumpu satu dengan lainnya, sehingga membuat vaginanya menjadi rapat dan ini membuatku sulit untuk menjilati dan menyedot lubang vaginanya, lalu kuangkat kaki kirinya dan kuselipkan kepalaku di antara kedua kakinya, sehingga sekarang kepalaku bersandar pada kaki kanannya serta kugunakan kedua tanganku untuk memegang kedua bibir vaginanya dan membukanya lebar-lebar sehingga dengan mudah lidah dan mulutku menjilati dan menghisap bagian dalam vagina Ami yang kemerahan serta penuh dengan cairan itu sehingga terasa seluruh wajahku seperti basah semua dan mungkin jilatan dan hisapanku ini membuat nafsu Ami semakin tinggi sehingga membuat Ami semakin cepat dan semakin dalam mengulum penisku keluar masuk mulutnya dan sesekali disertai sedotan yang kuat serta kocokan tangannya di batang penisku semakin cepat disertai suara yang keluar dari mulutnya "Hhhmm hhmm hhmm hhmm", semakin keras.
Ini semua membuat nafsuku semakin tinggi dan lagi-lagi secara tidak sadar, kubalik dan kuangkat badan Ami sehingga sekarang sudah berada di atas tubuhku dengan vaginanya menutupi seluruh mulutku dan sekarang makin leluasa mulut dan lidahku menjilati seluruh vaginanya tanpa perlu harus membuka bibir vaginanya dan kugunakan kedua tanganku bergantian kadang-kadang kucengkeramkan di pantatnya, kadang-kadang kuremas-remas kedua payudaranya yang kecil dan memijat badannya dan posisi ini pun yang ada di atasku, rupanya membuat Ami lebih bebas sehingga Ami dapat memaju-mundurkan mulutnya lebih jauh sehingga kadang-kadang penisku terasa ditelannya semua dan kocokan tangannya lebih cepat dan Ami pun menggerak pinggulnya naik-turun dengan cepat sampai kadang-kadang terasa sulit bernapas karena hidungku tertutup vaginanya. Hal ini berlangsung beberapa menit dan akhirnya aku merasa agak sulit mempertahankan agar spermaku jangan keluar dulu, lalu kudekapkan tanganku pada pantat Ami dan berteriak "aamm aam oom nggak tahaan mau keluaar ayoo yang cepaat aduhh Aam acrhh", sambil kutekan penisku kuat-kuat ke dalam mulut Ami dan kutumpahkan spermaku di dalam mulutnya dan yang kudengar dari mulut Ami hanya suara, "aarcrhh aarcrhh aarrchh", sambil melepas penisku dari mulutnya dan membantingkan badannya turun dari atas badanku.
Dengan nafasku masih terengah-engah, aku memutar badanku dan sambil kupeluk dan kucium dahinya aku bilang, "Aam terima kaasiih Sayaang", sedangkan Ami sambil mengelap mulutnya yang penuh dengan ceceran spermaku dengan tangannya lalu memencet hidungku sambil berkata, "Ooom jahaat mau keluar tidak bilang-bilang sampai ada yang tertelan", sambil terus memelukku dan mencium pipiku. Sambil balas kupeluk dan kucium bibirnya yang masih tercium bau spermaku, kubilang, "Sayaang tidak apa apa, itu vitamin kok."
Setelah berciuman beberapa kali, lalu kubilang, "Aam, sudah malam oom mau pulang ya, terima kasih yaa aam", kataku sambil terus bangkit dari tempat tidur serta melihat-lihat seluruh alas tempat tidur Ami, siapa tahu ada darah gadisnya yang tercecer dan untungnya tidak ada dan Ami pun segera bangkit dari tempat tidur dan segera mengenakan CD-nya sambil terus merangkulku dan mencium pipiku sambil berkata,
"Oom, Ami puaas Oom", dan setelah berhenti sebentar dia lanjutkan kata-katanya,
"Oom kalau nanti Ami kepingin lagii, gimana dong?"
"Lho kan ada pacar Ami", kataku.
"aah tidak enak Oom, dia masih bodoh."
Setelah selesai kukenakan celana pendekku lalu aku pamit.
"aam oom pulang yaa", dan sekali lagi Ami mencium pipiku sambil berkata,
"Tidur yang nyenyak yaa.. oom."